Pendapat Yang Wasath (Tepat/Benar) Perihal Fiqhul Waqi' Serta Kewajiban Saling Cinta Dan Loyal


Pendapat Yang Wasath (Tepat/Benar) Perihal Fiqhul Waqi' Serta Kewajiban Saling Cinta Dan Loyal


Kategori Fokus Utama


Rabu, 28 April 2004 09:08:55 WIB

FIQHUL WAQI' [MEMAHAMI REALITA UMMAT]


Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Bagian Terakhir dari Enam Tulisan [6/6]




[M]. PENDAPAT YANG WASATH (TEPAT/BENAR) PERIHAL FIQHUL WAQI'
Dengan demikian perkara Fiqhul Waqi' adalah sebagaimana dikatakan oleh Allah Jalla Jalaluhu.

"Artinya : Demikianlah kami telah menjadikan kamu sebagai ummat yang wasath (adil dan pilihan) .." [Al-Baqarah : 143]

Fiqhul Waqi' dengan maknanya secara syar'i adalah sebuah kewajiban, namun sifatnya fardhu kifayah, jika telah dilaksanakan oleh sebagian ulama, maka gugurlah kewajiban dari sebagian lainnya, dari para penuntut ilmu dan gugur pula dari kaum mulimin secara umum.

Oleh sebab itu kita wajib bersikap i'tidal (adil dan lurus) dalam mengajak kaum muslimin kepada pengetahuan/pengenalan terhadap Fiqhul Waqi', tidak menghanyutkan mereka dengan informasi dan berita politik, serta pemecahan-pemecahan problematika ala pemikir-pemikir barat. Yang wajib selama-lamanya adalah mendengungkan/menyuarakan seputar "tasfiyah" pemurnian ajaran Islam dari segala kotoran yang digantungkan padanya kemudian ditindak lanjuti dengan pembinaan kaum muslimin, baik sebagai sebuah kelompok masyarakat, maupun perseorangan diatas Islam yang telah murni tersebut. Serta mengikat mereka dengan manhaj (metode) dakwah yang hak, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah, sejalan dengan pemahaman para Salaf (pendahulu) ummat ini yang shalih.

[N]. KEWAJIBAN SALING CINTA DAN LOYAL [ANTAR SESAMA MUSLIM]
Merupakan kewajiban bagi para ulama dengan spesialisasi mereka masing-masing dan ummat secara keseluruhan untuk menerapkan sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Perumpamaan orang-orang mukminin dalam cinta, kasih sayang dan sikap saling bahu membahu di antara mereka, ibarat sebatang tubuh, jika satu anggotanya mengeluh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh lainnya saling menyeru (untuk menanggung derita) dengan tidak tidur dan naiknya suhu badan (demam) [1] " [2]

Perumpamaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang agung ini tidak akan terwujud sesuai dengan kandungan maknanya yang indah dan mengagungkan, melainkan dengan jalan ta'awun (saling tolong-menolong) antara para ulama dengan anggota masyarakat dalam bentuk mengajar, belajar, berdakwah dan penerapan (pengamalan ilmu yang diketahui). Dengan demikian mereka yang mengetahui pemahaman syariat beserta dalil-dalilnya yang bersifat penerapan dan tidak sekedar menganalisa, dapat saling bekerjasama. Para ulama memberikan kepada mereka apa yang dimiliki berupa ilmu fiqh, sedang mereka yang memahami Fiqhul Waqi, menyampaikan kepada para ulama sesuatu yang secara jelas telah diketahui (dipelajari) agar semuanya jelas dan sama-sama mengambil sikap dan mewaspadainya.

Dari wujud kerjasama yang penuh kejujuran ini, antara para ulama dan para da'i sesuai dengan spesialisasi masing-masing, akan memungkinkan terwujudnya apa yang menjadi idaman setiap muslim yang memiliki semangat dan kecemburuan [terhadap agamanya, -pent].

[O]. BAHAYA PELEMPARAN TUDUHAN TERHADAP ULAMA
Menikam/menuduh sebagian ulama atau para penuntut ilmu dan mencela mereka karena ketidak tahuan mereka tentang Fiqhul Waqi, begitu pula halnya pelemparan tuduhan yang dialamatkan mereka dengan sebutan yang tidak sepatutnya disebutkan pada kesempatan ini, adalah kesalahan dan kekeliruan yang amat jelas, yang tidak boleh diteruskan, sebab merupakan sikap "tabaghudh" saling memurkai/membenci, yang telah dilarang dalam sejumlah hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan justru hadits-hadits itu memerintahkan kaum muslimin untuk berbuat yang sebaliknya, berupa sikap saling mencintai, saling berjumpa dan saling tolong menolong.

[P]. CARA MENANGGULANGI KESALAHAN
Adapun kewajiban seorang muslim yang melihat suatu kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan oleh seorang alim atau da'i, adalah mengingatkan dan menasihatinya. Jika suatu kesalahan dilakukan di sebuah lokasi yang sifatnya terbatas, maka peringatannya dilakukan di lokasi tersebut tanpa diumumkan atau disebar luaskan. Dan jika kesalahan itu bersifat umum dan masyhur, maka tidak mengapa peringatan dan keterangannya dilakukan dengan cara diumukan, akan tetapi sebagaimana firman Allah Jalla Jalaluhu.

"Artinya : Serulah manusia kejalan Rabbmu dengan hikmah dan peringatan yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik ..." [An-Nahl : 125]

Sesuatu yang juga penting untuk dijelaskan, bahwa kekeliruan yang dipersalahkan tersebut bukanlah yang dibangun atas dasar semangat dan gejolak jiwa muda belaka tanpa ilmu atau keterangan yang jelas.

Akan tetapi yang dimaksud adalah sebuah kekeliruan dan kesalahan yang benar-benar berdasarkan hujjah, keterangan, dalil dan burhan (bukti).

Gambaran metode/cara mempersalahkan dan mengingatkan yang penuh kelembutan dan kebijakan tersebut, tidak mungkin terwujud, kecuali antara para ulama yang ikhlas dan penuntut ilmu yang benar-benar ingin menasihati yang mana ilmu dan dakwah mereka berada pada kalimat yang sama (kalimatun sawa'), tiada perselisihan diantara mereka, berdiri tegak diatas keterangan yang berdasarkan pada al-Qur'an, sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan berpijak pada manhaj (metode) Salaf, pendahulu ummat dalam menjalankan agama ini.

Sebagai penutup (makalah ini, -pent), ada suatu hal yang amat penting untuk diperkenalkan dan diberitahukan kepada kaum muslimin. Maka saya katakan : "Sikap ridha kita kepada Fiqhul Waqi' yang sesuai dengan gambaran syariat dan kesibukan kita dengannya, tidak boleh dijadikan pendorong untuk memasuki pintu-pintu politik modern, yang mana para pelakunya telah berbuat kezhaliman, tidak pula tergiur dan tertipu oleh kalimat-kalimat yang berkisar pada politik, mengulang-ulangi cara mereka (dalam politik), dan tenggelam dalam keanehan-keanehan mereka.

Yang wajib hanyalah berjalan di atas "siyasah syar'iyyah" (mengatur, memimpin, mengemudikan urusan ummat sesuai dengan tuntunan syar'i), yaitu memelihara dan menjaga kepentingan-kepentingan ummat Islam.

Sementara kepentingan dan pemeliharaan seperti itu tidak mungkin dapat terwujud, kecuali dibawah sinar, cahaya al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta diatas pijakan manhaj Salafus Shalih, dipegang oleh Ulil Amri (para pemegang dan penanggung jawab urusan ummat ini, -pent) yang terdiri dari para ulama yang menerapkan ilmu mereka, dan para umara (pemimpin) yang bersikap adil, karena sesungguhnya Allah Jalla Jalaluhu dapat mencegah dengan sulthan (kekuasaan) sesuatu yang tidak dapat dicegah dengan al-Qur'an.[3]

[Q]. BAHAYA SISTEM POLITIK MODERN
Adapun sistem politik ala barat yang sedang membuka pintu-pintunya dan menipu serta memperdayakan pengikut-pengikutnya adalah sistem politik tanpa mengenal agama. Setiap orang yang tergiring dibelakangnya dan tenggelam dilautannya, telah ditimpa oleh adzabnya dan dibakar oleh "neraka" yang berkobar-kobar, sebab orang yang tegesa-gesa ingin meraih sesuatu sebelum saatnya, niscaya memperoleh sangsi dengan terhalangi sesuatu itu darinya.

"Barangsiapa tergesa-gesa meraih sesuatu sebelum saatnya, niscaya terhalangi darinya sebagai sebuah sangsi atasnya".

"Hanya Allah Jalla Jalaluhu pemberi taufiq untuk sebuah kebenaran, dan segala puji bagi Allah Rabb semesta alam"

Catatan :
Tulisan ini diterjemahkan dari majalah "as-Salafiyyah", edisi ke lima, tahun 1420-1421, Hal. 41-48, dengan judul asli " Hukmu Fiqhil Waqi' wa Ahammiyyatunuhu"

[Disalin dari Majalah : as-Salafiyah, edisi ke 5/Th 1420-1421. hal 41-48, dengan judul asli "Hukmu fiqhil Waqi' wa Ahammiyyatuhu". Diterjemahkan oleh Mubarak BM Bamuallim LC dalam Buku "Biografi Syaikh Al-Albani Mujaddid dan Ahli Hadits Abad ini" hal. 127-150 Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]
_________
Foote Note.
[1] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menukil perkataan Ibnu Hamzah tentang "at-Taraahum. at-Tawaadud dan at-Ta'aathuf" yang dimaksud dengan "at-Taraahum" yaitu saling mengasihi sebagai terhadap sebagian lainnya semata-mata karena persaudaraan iman. "at-Tawaadud" yaitu hubungan interaksi yang membuahkan rasa cinta, seperti saling mengunjungi, saling memberi hadiah, dan lain sebagainya. "at-Ta'aathuf" yaitu sebagian menolong sebagian lainnya, seperti menaruh iba/kasihan kepada seseorang dengan memberi pakaian padanya untuk menguatkan tubuhnya. [Fathul Baari 10/453-454, -pent]
[2]. Hadits Shahih dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim dan lainnya, lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah No. 1083, jilid 3/71
[3]. Lihat Ad-Durrul Mantsur oleh as-Suyuti jilid 4, hal. 99




Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/666/slash/0


CHM Al-Manhaj Versi 3.8 Online melalui www.alquran-sunnah.com.